2.1
Definisi Ilmu Pendidikan
Menurut S. Brojonegoro ilmu pendidikan yaitu teori
pendidikan, perenungan tentang pendidikan, dalam arti luas ilmu pendidikan
yaitu ilmu pengetahuan yang mempelajari soal-soal yang timbul dalam praktek
pendidikan. Sedangkan Menurut Carter V.
Good ilmu Pendidikan merupakan suatu bangunan yang sistematis
mengenai aspek-aspek kuantitatif, objektif dan proses belajar, menggunakan
instrument secara seksama dalam mengajukan hipotesis-hipotesis pendidikan untuk
diuji dan pengalaman seringkali dalam eksperimental.
Menurut Imam Barnadib, ilmu yang
membicarkan masalah-masalah umum pendidikan secara menyeluruh dan abstrak. Ilmu
pendidikan bercorak teoritis dan bersifat praktis. pemikiran ilmiah yang
bersifat kritis, metodis, dan sistematis tentang realitas yang disebut
pendidikan.
Dengan demikian pengertian ilmu pendidikan adalah
suatu kumpulan ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis dengan
memiliki metode-metode tertentu yang ilmiah untuk menyelidiki,
merenungkan tentang gejala-gejala perbuatan bantuan atau didikan yang diberikan
oleh orang “dewasa” kepada orang yang “belum dewasa” untuk mencapai
kedewasaannya dalam rangka mempersiapkan dirinya untuk kehidupan yang bermakna
bagi dirinya, masyarakat dan Pencipta-Nya.
Ilmu pendidikan membahas tentang proses
penyesuaian diri secara timbal balik antara manusia dengan manusia dan
alam sebagai pengembangan dan penyempurnaan secara teratur dari semua
potensi moral, intelektual, dan jasmaniah. Pendidikan adalah usaha sadar untuk
mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan oleh si pendidik terhadap si terdidik dalam hal perkembangan jasmani
dan rohani menuju terbentuknya kepribadian yang utama di masa yang akan datang.
Ilmu Pendidikan merupakan sebuah sistem pengetahuan
tentang pendidikan yang diperoleh melalui riset yang disajikan dalam
bentuk konsep-konsep pendidikan. Konsep-konsep pendidikan tersebut tidak
lain merupakan berdasarkan pengalaman yang ditata secara sistematis
menjadi suatu kesatuan yaitu disebut skema konseptual. Dengan demikian isi Ilmu
Pendidikan, terbentuk dari unsur-unsur yang berupa konsep-konsep tentang
variabel-variabel pendidikan, dan bagian-bagian yang berupa skema-skema
konseptual tentang komponen-komponen pendidikan.
2.2
Landasan – Landasan Ilmu Pendidikan
Landasan
Disiplin Ilmu Pendidikan berikan pemikiran-pemikiran mendasar tentang struktur
disiplin ilmu pendidikan. Landasan-landasan disiplin ilmu pendidikan meliputi:
filosofis, ideologis, sosiologis, antropologis, kemanusiaan, politis,
psikologis, dan religius.
A. Landasan
Filosofis
Aspek ontologis
adalah Memberikan gagasan pemikiran mendasar yang digunakan untuk menentukan
apa obyek kajian atau domain apa saja yang menjadi kajian pokok dan dimensi
pengembangan disiplin ilmu Pendidikan.
Aspek
epistemologis adalah bagaimana cara, proses, atau metode membangun dan
mengembangkan disiplin ilmu hingga menentukan pengetahuan manakah yang dianggap
benar, sah, valid, atau tepercaya.
Aspek aksiologis
adalah apa tujuan ilmu pendidikan ini dibangun dan dikembangkan serta digunakan
atau apakah manfaat dari disiplin ilmu pendidikan. Keberadaan landasan-landasan
ini telah dan akan memperkokoh struktur disiplin ilmu untuk eksis dan
berkembang luas lagi.
B. Landasan
Ideologis
Dimaksudkan
sebagai sistem gagasan mendasar untuk memberi pertimbangan dan menjawab
pertanyaan: (1) bagaimana keterkaitan antara Das sollen pendidikan, dan (2)
bagaimana keterkaitan antara teori-teori pendidikan dengan hakikat dan praksis
etika, moral, politik, dan norma-norma perilaku dalam membangun dan
mengembangkan ilmu pendidikan. Menurut O’Neil (2001), ideologi sebagai landasan
ini telah dan akan memberikan sistem gagasan yang bersifat ideologis terhadap
ilmu pendidikan yang tidak cukup diatasi hanya oleh filsafat yang bersifat
umum.
C. Landasan
Sosiologis
Memberikan
sistem gagasan mendasar untuk menentukan cita-cita, kebutuhan, kepentingan,
kekuatan, aspirasi, serta pola kehidupan masa depan melalui interaksi sosial
yang akan membangun teori-teori atau prinsip-prinsip disiplin ilmu pendidikan.
Landasan ini akan dan telah memberikan dasar-dasar sosiologis terhadap pranata
dan institusi pendidikan dalam proses perubahan sosial yang konstruktif.
(Dewey, 1964 Kuhn, 2001).
D. Landasan
Antropologis
Memberikan
sistem gagasan-gagasan mendasar dalam menentukan pola, sistem dan struktur
disiplin ilmu pendidikan sehingga relevan dengan pola, sistem dan struktur
kebudayaan bahkan dengan pola, sistem dan struktur perilaku manusia yang
kompleks. Landasan ini telah dan akan memberikan dasar-dasar sosial kultural
masyarakat terhadap struktur disiplin ilmu pendidikan dalam proses perubahan
sosial yang konstruktif. (Pai, 1990)
E. Landasan
Kemanusiaan
Memberikan
sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan karakteristik ideal manusia
sebagai sasaran proses pendidikan. Landasan ini sangat penting karena pada
dasarnya proses pendidikan adalah proses memanusiakan manusia.
F. Landasan
Politis
Memberikan
sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan arah dan garis kebijakan dalam
politik pendidikan dari disiplin ilmu pendidikan. Peran dan keterlibatan pihak
pemerintah dalam landasan ini sangat besar sehingga pendidikan tidak mungkin
steril dari campur tangan untuk birokrasi. (Foster, 1985, Freire, 2000).
G. Landasan
Psikologis
Memberikan
sistem gagasan-gagasan mendasar untuk menentukan cara-cara disiplin ilmu pendidikan
membangun struktur tubuh disiplin pengetahuannya baik dalam tataran personal
maupun komunal berdasarkan entitas-entitas psikologisnya. Hal ini sejalan
dengan hakikat dari struktur yang dapat dipelajari, dialami, diversifikasi,
diklasifikasi oleh anggota komunitas disiplin ilmu berdasarkan kapasitas
psikologis dan pengalamannya.
H. Landasan
Religius
Memberikan
sistem gagasan-gagasan mendasar tentang nilai-nilai, norma, etika, dan moral
yang menjadi jiwa (ruh) yang melandasi keseluruhan bangunan disiplin ilmu
pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia. Landasan ini telah berlaku sejak
zaman Plato hingga Kant yang kemudian diakomodasi oleh Brameld (1956) melalui
karya-karyanya khususnya dalam filsafat rekonstruksionisme. Landasan religius
ini telah dan akan menolak segala sesuatu yang relatif (paham relativis),
irasional, dan paham yang mengagungkan rasional semata yang tidak menempatkan
agama sebagai landasan berpikir (intraceptive knowledge) atau kelompok manusia
yang merasa menjadi pemenang dalam mengembangkan peradaban manusia, intellectus
quaerens fidem (Somantri, 2001).
2.3
Paradigma Keilmuan
Ada
empat jenis paradigma menurut gagasan Kuhn (1962) yang tidak mudah
diidentifikasi dalam disiplin ilmu Pendidikan.
A. Paradigma simbolik atau generalisasi simbolik, yakni
generalisasi-generalisasi yang menyimbolkan atau melambangkan sebuah bentuk
pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realialitas atau teki-teki yang
dihadapi dalam suatu pola yang bersifat logis dan matematis. Dalam teori
pendidikan, misalnya dikenal generalisasi simbolik belajar merupakan proses
stimulus dan respon (S-R).
B. Paradigma metafisis, yakni kepercayaan atau keyakinan
kepada model tertentu yang memungkinkan para ilmuwan membuat dan menggunakan
bentuk analogi-analogi atau metafora tentang realitas yang penuh dengan
teki-teki. Fungsi paradigma ini sama seperti paradigma simbolik ialah sebagai
bentuk pendekatan, pemecahan, dan penjelasan atas realitas atau teka-teki yang
dihadapi. Bedanya paradigma ini lebih berdasarkan pada kepercayaan dan keyakinan
tertentu.
C. Paradigma sebagai nilai, yakni paradigma yang
didasarkan pada nilai-nilai bersama yang disepakati secara luas oleh seluruh
atau berbagai komunitas disiplin ilmu sebagai kriteria esensial, mendalam dan
mendasar.
D. Paradigma sebagai eksemplar, yakni berupa
contoh-contoh bersama tentang “pemecahan masalah nyata” yang dilakukan oleh
seorang ilmuwan, dan “pemecahan masalah teknis” yang ditentukan oleh para
ilmuwan, misalnya berupa jurnal ilmiah.
Merujuk pada jenis paradigma dari gagasan
Kuhn ini, nampaknya tidak mudah untuk menentukan jenis paradigma tersebut untuk
disiplin ilmu pendidikan. Sehingga sejauh perkembangan idisiplin ilmu pendidikan saat ini, belum ada
klaim yang secara eksplisit menyatakan suatu paradigma sebagai konstelasi
komitmen bersama di kalangan pakar disiplin ilmu pendidikan. Namun sebagai
bentuk kerangka atau sudut pandang yang terbatas, di dalam disiplin ilmu
pendidikan sebenarnya dikenal pula beberapa klasifikasi paradigma yang berbeda
dengan jeis paradigma tersebut meliputi:
A. Paradigma perilaku (behaviorsm), obyek kajian disiplin
ilmu pendidikan adalah struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan
struktur perilaku lingkungan terkait dan mengondisikan struktur perilaku siswa.
Adapun pokok persoalan yang harus dikaji adalah hubungan fungsional antara
struktur perilaku lingkungan dengan struktur perilaku siswa sesuai dengan
konteksnya.
B. Paradigma kemanusiaan (humanism), objek kajian
disiplin ilmu pendidikan adalah struktur dunia perseptual atau struktur
kebutuhan dan dorongan dasar alamiah manusia. Struktur dunia perseptual manusia
terdiri atas persepsi, keyakinan, pikiran, perasaan, kebutuhan, konsep diri
atau tujuan pribadi, sedangkan struktur kebutuhan atau dorongan dasar alamiah,
antara lain berupa rasa ingin tahu (sense of curiosity), hasrat ingin
membuktikan secara nyata (sense of interest), dorongan untuk menemukan (sense
of discovery), dorongan berpetualang (sense of adventure), dan dorongan
menghadapi tantangan (sense of challenge). Adapun persoalan pokok yang perlu
dikaji menurut paradigma kemanusiaan adalah antarhubungan antara tindakan
manusia dengan struktur dunia perseptual dan struktur kebutuhan dan dorongan
dasar alamiah sesuai dengan konteks pendidikan (Huitt, 2001)
C. Paradigma kognitif, objek kajian disiplin ilmu
pendidikan adalah struktur kognitif atau skema kognitif (scheme atau schemata)
yang terdapat di dalam setiap individu. Adapun persoalan pokok kajian adalah
antarhubungan antara struktur kognitif dan pengembangan kemampuan intelektual
individu sesuai dengan konteks pendidikan. Asumsi yang mendasari paradigma
kognitif bahwa pada hakikatnya manusia adalah makhluk berpikir (homo sapiens).
Di dalam dirinya manusia memiliki jiwa intelektual (intelectual soul) yang mampu
menentukan sesuatu yang benar dan membedakan antara yang baik dari yang
buruk.
D. paradigma sosial kultural, objek kajian disiplin ilmu
pendidikan adalah struktur sosial dalam kehidupan masyarakat. Yang dimaksud
struktur sosial disini adalah perkembangan masyarkat, budaya masyarakat
(seperti nilai, norma), institusi-institusi masyarakat termasuk institusi
keluarga dan sekolah. Adapun persoalan pokoknya adalah antarhubungan antara
struktur sosial dan perkembangan individu sesuai dengan konteks Pendidikan.
2.4
Persyaratan Pendidikan Sebagai Ilmu
Suatu kawasan studi dapat tampil
sebagai disiplin ilmu, bila memenuhi syarat-syarat :
A. Memiliki objek studi (formal dan material)
Objek material ilmu pendidikan
adalah perilaku manusia. Objek formalnya adalah menelaah fenomena pendidikan
dalam perspektif yang luas dan integrative.
B. Memiliki sistematika
Sistematika
ilmu pendidikan dibedakan menjadi 3 bagian yaitu,
(1)
Pendidikan sebagai gejala manusiawi, dapat
dianalisis yaitu adanya komponen pendidikan yang saling berinteraksi dalam
suatu rangkaian keseluruhan untuk mencapai tujuan.Komponen pendidikan itu
adalah :
(a)
tujuan pendidikan,
(b)
peserta didik,
(c)
pendidik,
(d)
isi pendidikan,
(e)
metode pendidikan,
(f)
alat pendidikan,
(g)
lingkungan pendidikan.
(2)
Pendidikan sebagai upaya sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan manusia. Menurut Noeng Muhadjir sistematika ini
bertolak dari fungsi pendidikan, yaitu : (a) menumbuhkan kreatifitas peserta
didik, (b) menjaga lestarinya nilai insani dan nilai ilahi, (c) menyiapkan
tenaga produktif.
(3)
Pendidikan sebagai gejala manusiawi. Menurut
Mochtar Buchori ilmu pendidikan mempunyai 3 dimensi : (1) dimensi lingkungan
pendidikan, (2) dimensi jenis-jenis persoalan pendidikan, (3) dimensi waktu dan
ruang.
C. Memiliki metode
Memliki metode-metode dalam ilmu pendidikan :
1. Metode
normative, berkenaan dengan konsep manusiawi yang diidealkan yang ingin
dicapai.
2. Metode
eksplanatori, berkenaan dengan pertanyaan kondisi, dan kekauatan apa yang
membuat suatu proses pendidikan berhasil.
3. Metode
teknologis, berkenaan dengan bagaimana melakukannya dalam rangka mencapai
tujuan yang diinginkan.
4. Metode
deskriptif, fenomenologis mencoba menguraikan kenyataan-kenyataan pendidikan
dan lalu mengklasifikasikannya.
5. Metode
hermeneutis, untuk memahami kenyataan pendidikan yang konkrit dan historis
untuk menjelaskan makna dan struktur dan kegiatan pendidikan.
6. Metode
analisis kritis, menganalisis secara kritis tentang istilah, pernyataan,
konsep, dan teori yang ada dalam pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar